MAKALAH AGAMA ISLAM
“PELAKSANAAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI LINGKUNGAN KELUARGA, SEKOLAH, DAN
MASYARAKAT”
NAMA
: HARPA PRIA GAWAKSA
STAMBUK : A1C212037
FAKULTAS
: FKIP
PRODI
: PEND BIOLOGI
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2012
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah.
Puji syukur kami panjatkan, karena atas limpahan rahmatnya, sehingga kami dapat
menyekesaikan penulisan makalah ini.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk
memberikan pemahaman pada pembaca bagaimana cara pembelajaran agama Islam di
lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Selain itu, makalah ini juga
diajukan sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam dari dosen
pembibing mata kuliah tersebut.
Penulis menyadari bahwa makalah ini
belum mendekati sempurna, dan masih banyak kekeliruan. Oleh karena itu, kritik
dan seran yang membangun sangat diharapkan, guna kesempurnaan penulisan
selanjutnya.
Kendari,Oktober 2012
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. TujuanPenulisan
BAB II PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan
Pendidikan Agama Islam di Lingkungan Keluar
B. Pelaksanaan
Pendidikan Agama Islam di Lingkungan Sekolah
C. Pelaksanaan
Pendidikan Agama Islam di Lingkungan Masyarakat
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan
B.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama berperan penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi
pemandu dalam mewujudkan suatu kehidupan yang bermakna, damai dan bermartabat.
Menyadari betapa pentingnya peran agama bagi kehidupan manusia maka
internalisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan setiap pribadi menjadi sebuah
keniscayaan, yang ditempuh melalui pendidikan baik pendidikan di lingkungan
keluarga, sekolah maupun masyarakat.
Pendidikan Agama dimaksudkan untuk peningkatan potensi spiritual dan
membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Allah SWT dan berakhlak mulia. Akhlak mulia menyangkut etika, budi pekerti, dan
moral sebagai manifestasi dari pendidikan Agama. Peningkatan potensi spiritual
mencakup pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan, serta
pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual ataupun kolektif
kemasyarakatan. Peningkatan potensi spiritual tersebut pada akhirnya bertujuan
pada optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya
mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Allah SWT.
Pendidikan Islam diberikan dengan mengikuti tuntunan bahwa agama diajarkan
kepada manusia dengan visi untuk mewujudkan manusia yang bertakwa kepada Allah
SWT dan berakhlak mulia, serta bertujuan untuk menghasilkan manusia yang jujur,
adil, berbudi pekerti, etis, saling menghargai, disiplin, harmonis dan
produktif, baik personal maupun social.
Pendidikan agama Islam
dapat dijalani melalui: keluarga, sekolah dan masyarakat.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagimana
pelaksanaan pendidikan agama Islam pada keluarga?
2.
Bagaimanna
pelaksanaan pendidikan agama Islam pada sekolah?
3.
Bagaimana
pelaksanaan pendidikan agama Islam pada masyarakat?
C. Tujuan
Penulisan
1.
Mengetahui
pelaksanaan pendidikan agama Islam pada keluarga?
2.
Mengetahui
pelaksanaan pendidikan agama Islam pada sekolah?
3.
Mengetahui
pelaksanaan pendidikan agama Islam pada masyarakat?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendidikan
Agama Islam pada Lingkungan Keluarga
Pendidikan pada umumnya terbagi pada
dua bagian besar, yakni pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah. Hal ini
berdasar pada: “Maka proses belajar itu bagi seseorang dapat terus berlangsung
dan tidak terbatas pada dunia sekolah saja.
Pendidikan luar sekolah adalah
setiap kesempatan di mana terdapat komunikasi yang teratur dan terarah di luar
sekolah dan seseorang memperoleh informasi, pengetahuan, latihan maupun bimbingan
sesuai dengan usia dan kebutuhan kehidupan, dengan tujuan mengembangkan
tingkatan keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang memungkinkan baginya menjadi
peserta-peserta yang efisien dan efektif dalam lingkungan keluarga pekerjaan
bahkan lingkungan masyarakat dan negaranya.
Pengertian yang jelas tentang
pendidikan agama yang dilakukan di lingkungan keluarga interaksi yang teratur
dan diarahkan untuk membimbing jasmani dan rohani anak dengan ajaran Islam,
yang berlangsung di lingkungan keluarga. Dalam pelaksanaannya, maka proses
pendidikan Agama Islam di lingkungan keluarga berlangsung antara orang-orang
dewasa yang bertanggung jawab atas terselenggaranya pendidikan agama, dan
anak-anak sebagai sasaran pendidikannya. Sedang ibu dalam kaitannya dengan pendidikan
agama di lingkungan keluarga, maka kedudukannya sebagai pendidik yang utama dan
pertama, dalam kedudukannya sebagai pendidik, maka seorang ibu tidak cukup
hanya memanggil seorang guru agama dari luar untuk mendidik anaknya di rumah,
dan bukan dalam pengertian yang demikianlah yang dimaksud dengan pendidikan
agama di lingkungan keluarga. Akan tetapi lebih ditekankan adanya bimbingan
yang terarah dan berkelanjutan dari orang-orang dewasa yang bertanggung jawab
di lingkungan keluarga untuk membimbing anak.
Kelahiran dan kehadiran seorang anak
dalam keluarga secara ilmiah memberikan adanya tanggung jawab dari pihak orang
tua. Tanggung jawab ini didasarkan atas motivasi cinta kasih, yang pada
hakekatnya juga dijiwai oleh tanggung jawab moral. Secara sadar orang tua
mengemban kewajiban untuk memelihara dan membina anaknya sampai ia mampu
berdikari sendiri (dewasa) baik secara fisik, sosial, ekonomi maupun moral.
Sedikitnya orang tua meletakan dasar-dasar untuk mandiri itu.
Dorongan atau motivasi kewajiban moral,
sebagai konsekwensi kedudukan orang tua terhadap keturunannya. Tanggung jawab
moral ini meliputi nilai-nilai religius spiritual yang dijiwai Ketuhanan Yang
Maha Esa dan agama masing-masing, di samping didorong oleh kesadaran memelihara
martabat dan kehormatan keluarga.
Dalam kutipan yang pertama di atas
dikemukakan bahwa lingkungan keluarga itu amat dominan dalam memberikan
pengaruh-pengaruh keagamaan terhadap anak-anak, sehingga dapat dikatakan bahwa
lingkungan keluarga dalam kaitannya dengan pendidikan agama sangat menentukan
baik keberhasilannya. Sehingga amat disayangkan kalau kesempatan yang baik dari
lingkungan pertama yaitu keluarga itu disia-siakan atau dilalui anak tanpa
pendidikan agama dari pihak ibu dan bapak serta orang-orang yang bertanggung
jawab di sekitarnya.
Dalam hubungannya dengan kelanjutan
pendidikan atau kehidupan anak di masa mendatang, maka pendidikan di lingkungan
keluarga, termasuk di dalamnya pendidikan agama, hal itu merupakan sebagai
tindakan pemberian bekal-bekal kemampuan dari orang tua terhadap anak-anaknya,
dalam menghadapi masa-masa yang akan
dilaluinya.
Dalam hubungannya dengan pendidikan di sekolah maka sebagai persiapan untuk mengikuti pendidikan atau sebagai pelengkap dari pendidikan yang berlangsung di bangku sekolah. Dan dalam hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat, maka sebagai upaya untuk mempersiapkan diri agar anak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Dalam hubungannya dengan pendidikan di sekolah maka sebagai persiapan untuk mengikuti pendidikan atau sebagai pelengkap dari pendidikan yang berlangsung di bangku sekolah. Dan dalam hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat, maka sebagai upaya untuk mempersiapkan diri agar anak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Pendidikan merupakan sebuah proses
untuk memaknai kehidupan. Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin
mengedepankan teknologi yang telah mempermudah hidup dan kehidupan, banyak
kesenangan hidup yang dinikmati serta fasilitas yang dapat dirasakan dengan
bertambahnya setiap penemuan baru dalam bidang ilmu dan teknologi. Akan tetapi
semua itu pada kenyataannya banyak sekali kesenangan yang diperoleh itu justru
menyebabkan malapetaka dan membuat manusia semakin lupa kepada Tuhannya.
Semakin canggihnya ilmu pengetahuan,
semakin majunya peredaran zaman dan manusiapun beragam. kemewahan di
bidang harta tidak akan menjamin kebahagiaan seseorang jika orang tersebut
tidak bisa menikmati kekayaan itu, apalagi bagi orang yang serba kekurangan
atau merasa kurang cukup terus-menerus. Banyak anak-anak yang tidak patuh lagi
kepada orang tuanya, tentunya sangat dikhawatiran yang mengakibatkan perasaan
tidak tenang dan selalu gelisah, bahkan banyak orang yang mengalami penyakit
stress yang mereka sendiri tidak tahu obatnya, mencari tempat berpegang kepada
siapa dan bagaimana cara menenangkan perasaan yang stress itu, bahkan mereka
sering bingung, dihinggapi rasa takut dan rasa bersalah yang tidak tahu sebabnya.
Pendidikan
agama dalam keluarga menempati posisi yang strategis di tengah-tengah kehidupan
keluarga yang “rindu sakinah”, karena keluarga merupakan lingkungan di mana
beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah bersatu. Ia pun merupakan
lembaga terkecil dalam masyarakat yang pada gilirannya bisa mengubah bangsa
besar di kemudian hari.Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana suapaya anak
didik bisa mengembangkan potensi dirinya ke arah yang lebih baik. Untuk menuju
ke arah tersebut, agama merupakan salah satu faktor yang perlu mendapatkan
perhatian. Agama perlu dikenalkan kepada seluruh angota keluarga, terutama
kepada anak sejak masih dini bahkan ketika masih dalam kandungan.
Pendidkan
agama dalam keluarga bisa melalui kebiasaan-kebiasaan baik maupun melalui
prilaku baik yang dilaksanakan oleh seluruh anggorta keluarga, terutama ayah
dan ibu. Dengan adanya pendididikan agama dalam keluarga diharapkan anak akan
menjadi anggota masyarakat yang berguna dan insan saleh di kemudian hari.
Anak-anak mempunyai potensi yang maha besar untuk dikembangkan bahkan di
kemudian hari karena merekalah yang akan mengukir sejarah hidup baru. Kehidupan
manusia di kemudian hari ditentukan dengan bagaimana pendidikan anak pada saat
ini.
Pendidikan
agama dalam keluarga dicontokan oleh Nabi Muhammad saw. Sebagai pendidik dan
pembawa risalah, beliau mengajak dan mendidik keluarganya, maka muncullah kaum
muslimin yang pertama kali menerima pendidikan darinya, yaitu Siti Khadijah,
Ali bin Abi Thalih, Zaid bin Harits, Abu Bakar al-Shiddik, dan lain-lain.
Selanjutnya beliau mendidik kepada keluarga dekat dan anggota masyarakat
lainnya yang diawali dengan firman Allah swt.
Di dalam
keluarga bahagia, pendidikan dan pengamalan agama mutlak diperlukan karena
dengan agama, pikiran menjadi tenang, hati merasa tentram, dan keluarga pun
menjadi bahagia. Sebaliknya bila tidak disertai dengan agama, hidup terasa
hampa dan gersang bagaikan hutan yang habis dilalap api. Orang tua memiliki
peranan yang sangat penting dalam membesarkan anak dengan pengetahuan agama
yang baik.
Ia pun
mempunyai tanggung jawab penuh dalam pendidikan dan pengamalan agama bagi
seluruh anggota keluarganya. Islam sangat memperhatikan tanggung jawab yang
satu ini, memerintahkan orang tua untuk memikul tanggung jawabnya dan memberi
peringatan bagi yang lalai menjalankan kewajibannya.
Allah swt.
berfirman “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka” (Q.S; al-Tahrim;6).
Memelihara
keluarga berarti mendidik dan mengajar mereka untuk taat kepada Allah Swt.
Ketaatan ini antara lain membaca al-Qur’an bersama, sekali-kali shalat
berjama’ah di rumah, makan bersama dengan do’a sebelum dan sesudahnya, dan
sebagainya. Akan terasa indah dan nikmat hidup bersama keluarga, bagaikan hidup
di syurga, bila dihiasi dengan ajaran agama. Pantas sekali Nabi Muhammad Saw.
merasa tenang dan tentram hidup bersama keluarga sehingga beliau mengatakan
“rumah tanggaku bagaikan syurgaku”.
Tanggung
jawab ini merupakan persoalan besar yang pelik dan penting karena pendidikan
agama adalah salah satunya jalan untuk lebih mengenal dan berbakti kepada Allah
SWT. Misalnya ketika seorang istri yang sedang hamil, sebuah keluarga yang
memiliki sikap keberagamaan yang baik akan berbeda dengan keluarga yang minim
pengetahuan agamanya. Seorang istri yang mengerti agama, akan mengetahui bahwa
mendidik anak bukan hanya dimulai sejak anak lahir ke dunia tetapi ketika di
dalam kandungan pun, calon ayah dana ibu mulai mendidikanya.
B. Pendidikan
Agama Islam pada Lingkungan Sekolah
Pengembangan pendidikan agama Islam pada sekolah juga mengimplementasikan
Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan
Pendidikan Keagamaan, bahwa pendidikan Islam dapat diklasifikasikan ke dalam
tiga bentuk, pertama, pendidikan agama diselenggarakan dalam bentuk pendidikan
agama Islam di satuan pendidikan pada semua jenjang dan jalur pendidikan.
Kedua, pendidikan umum berciri Islam pada satuan pendidikan anak usia
dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi pada jalur
formal dan non formal, serta informal. Ketiga, pendidikan keagamaan Islam pada
berbagai satuan pendidikan diniyah dan pondok pesantren yang diselenggarakan
pada jalur formal, dan non formal, serta informal.
Pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam pada sekolah diarahkan pada
peningkatan mutu dan relevansi pendidikan agama Islam pada sekolah dengan
perkembangan kondisi lingkungan lokal, nasional, dan global, serta kebutuhan
peserta didik. Kegiatan dalam rangka pengembangan kurikulum adalah pembinaan
atas satuan pendidikan dalam pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam
tingkat satuan pendidikan.
Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah yang sedang berlangsung belum
semuanya memenuhi harapan kita sebagai umat Islam mengingat kondisi dan kendala
yang dihadapi, maka diperlukan pedoman dan pegangan dalam membina pendidikan
agama Islam.
Ini semua mengacu pada usaha strategis pada rencana strategis kebijakan
umum Direktorat Jendral Pendidikan Agama Islam Departemen Agama yaitu
peningkatan mutu khusus mengenai pendidikan agama Islam di sekolah, peningkatan
mutu itu sendiri terkait dengan bagaimana kualitas hasil pembelajaran
pendidikan agama Islam pada peserta didik yang mengikuti pendidikan di sekolah.
Mutu itu sendiri sebetulnya sesuatu yang memenuhi harapan-harapan kita. Artinya
kalau pendidikan itu bermutu hasilnya memenuhi harapan-harapan dan
keinginan-keinginan kita. Kita bukan hanya sebagai pengelola, tetapi juga
sebagai pelaksana bersama semua pemangku kepentingan (stakeholder) termasuk masyarakat,
orang tua. Dalam kenyataan pendidikan agama Islam di sekolah masih banyak hal
yang belum memenuhi harapan.
Misalnya kalau guru memberikan pendidikan agama Islam kepada peserta
didik, maka tentu yang kita inginkan adalah peserta didik bukan hanya mengerti
tetapi juga dapat melaksanakan praktek-praktek ajaran Islam baik yang bersifat
pokok untuk dirinya maupun yang bersifat kemasyarakatan. Karena di dalam
pendidikan agama Islam bukan hanya memperhatikan aspek kognitif saja, tetapi
juga sikap dan keterampilan peserta didik.
Peserta didik yang mendapatkan nilai kognitifnya bagus belum bisa
dikatakan telah berhasil jika nikai sikap dan keterampilannya kurang. Begitu
pula sebaliknya, jika sikap dan/atau keterampilannya bagus tetapi kognitifnya
kurang, belum bisa dikatakan pendidikan agama Islam itu berhasil. Inilah yang
belum memenuhi harapan dan keinginan kita.
Contoh lainnya, hampir sebagian besar umat Islam menginginkan peserta
didiknya bisa membaca Al Quran, namun bisakah orang tua mengandalkan kepada
sekolah agar peserta didiknya bisa membaca Al Quran, praktek pendidikan agama
Islam di sekolah, bisa mengerti dan mampu melaksanakan pokok-pokok ajaran agama
atau kewajiban-kewajiban ‘ainiyah seperti syarat dan rukun shalat. Maka sekolah
nampaknya belum bisa memberikan harapan itu karena terbatasnya waktu alokasi
atau jam pelajaran di sekolah.
Pendidikan moral yang paling baik sebenarnya terdapat dalam agama karena
nilai-nilai moral yang dapat dipatuhi dengan kesadaran sendiri dan penghayatan
tinggi tanpa ada unsur paksaan dari luar, datangnya dari keyakinan beragama. Pendidikan agama di sekolah
mendapat beban dan tanggung jawab moral yang tidak sedikit apalagi jika
dikaitkan dengan upaya pembinaan mental remaja. Usia remaja ditandai dengan
gejolak kejiwaan yang berimbas pada perkembangan mental dan pemikiran, emosi,
kesadaran sosial, pertumbuhan moral, sikap dan kecenderungan serta pada
akhirnya turut mewarnai sikap keberagamaan yang dianut (pola ibadah).
Pada sekolah-sekolah yang menyiapkan peserta didiknya menjadi ahli agama
atau pemimpin agama seperti di madrasah atau seminari, seluruh kegiatan
pembelajaran umumnya benar-benar diarahkan untuk mendukung tujuan pendidikan
yang ada.
Ada beberapa kemungkinan yang dihadapi oleh peserta
didik, yaitu peserta didik belajar agama Islam dari sisa waktu yang dimiliki
oleh orang tuanya. Peserta didik belajar agama Islam dengan mengundang ustadz
ke rumahnya. Ada pula peserta didik yang hanya mengandalkan pendidikan agama
Islam dari sekolahnya tanpa mendapatkan tambahan belajar agama dari tempat
lain. Dalam pendidikan agama Islam banyak yang mesti dikuasai oleh peserta
didik, seperti berkaitan dengan pengetahuan, penanaman akidah, praktek ibadah,
pembinaan perilaku atau yang dalam Undang-Undang disebut pembinaan akhlak.
Di sekolah yang melakukan pemisahan siswa beda agama
pada jam pelajaran agama perlu ada antisipasi agar pemisahan tidak berpengaruh
buruk pada rasa aman dan nyaman dengan penganut agama yang berbeda. Hilangnya
rasa aman dan nyaman akan merusak saling percaya antar anggota masyarakat yang
mana saling percaya ini merupakan modal sosial yang dibutuhkan dalam kehidupan
bersama yang adil dan beradab.
Pelajaran agama untuk siswa dari beragam agama bisa
dilakukan dengan saling berbagi pengalaman penghayatan keimanan, berbagi
informasi dan pengetahuan siswa tentang agamanya. Cara belajar seperti ini
mendorong siswa untuk lebih aktif dan bertanggung jawab dalam mendalami
agamanya dan pada saat bersamaan membiasakan sikap hormat dan simpati bagi
penganut agma yang berbeda.
Untuk menghadirkan paradigma baru dalam pembelajaran
agama dibutuhkan guru-guru yang mau terbuka untuk senantiasa belajar. Disamping
kenaikan gaji guru, yang lebih penting untukdiusahakan adalah peningkatan
kapasitas dan komitmen guru dalam memasilitasi peserta didiknya mengembangkan
dan mendewasakan kepribadian serta karakternya.
Pendidikan dimanapun dan kapanpun masih dipercaya orang sebagai media
ampuh untuk membentuk kepribadian anak ke arah kedewasaan. Pendidikan agama
adalah unsur terpenting dalam pendidikan moral dan pembinaan mental. Pendidikan
moral yang paling baik sebenarnya terdapat dalam agama karena nilai-nilai moral
yang dapat dipatuhi dengan kesadaran sendiri dan penghayatan tinggi tanpa ada
unsur paksaan dari luar, datangnya dari keyakinan beragama.
Karenanya keyakinan itu harus dipupuk dan ditanamkan sedari kecil
sehingga menjadi bagian tidak terpisahkan dari kepribadian anak sampai ia
dewasa. Melihat dari sini, pendidikan agama di sekolah mendapat beban dan
tanggung jawab moral yang tidak sedikit apalagi jika dikaitkan dengan upaya
pembinaan mental remaja.
Satu hal penting lainnya yang tidak boleh diabaikan oleh para guru Agama
di sekolah ialah materi pelajaran agama yang disampaikan di sekolah hendaknya
selalu diorientasikan pada kepentingan remaja, seorang guru Agama harus bisa
menanamkan keyakinan bahwa apa-apa yang ia sampaikan bukan demi kepentingan
sekolah (kurikulum) atau kepentingan guru Agama melainkan demi kepentingan
remaja itu sendiri.
Karenanya pemahaman akan kondisi objektif kejiwaan remaja mutlak
diperlukan oleh para guru Agama di sekolah. Seorang guru Agama harus senantiasa
dekat dan akrab dengan permasalahan remaja yang menjadi peserta didiknya agar
mampu menyelami sisi kejiwaan mereka. Dan materi pelajaran agamapun harus
terkesan akrab dan kemunikatif, sehingga otomatis sistem pengajaran yang
cenderung monolog (satu arah), indoktriner, terkesan sangar (karena hanya
membicarakan halal haram) harus dihindari, untuk kemudian diganti dengan sistem
pengajaran yang lebih menitik beratkan pada penghayatan dan kesadaran dari
dalam diri.
C. Pendidikan
Agama Islam pada Lingkungan Masyarakat
Pendidikan
dimanapun dan kapanpun masih dipercaya orang sebagai media ampuh untuk
membentuk kepribadian anak ke arah kedewasaan. Pendidikan agama adalah unsur
terpenting dalam pendidikan moral dan pembinaan mental.
Pendidikan
moral yang paling baik sebenarnya terdapat dalam agama karena nilai-nilai moral
yang dapat dipatuhi dengan kesadaran sendiri dan penghayatan tinggi tanpa ada
unsur paksaan dari luar, datangnya dari keyakinan beragama. Karenanya keyakinan
itu harus dipupuk dan ditanamkan sedari kecil sehingga menjadi bagian tidak
terpisahkan dari kepribadian anak sampai ia dewasa. Melihat dari sini,
pendidikan agama di sekolah mendapat beban dan tanggung jawab moral yang tidak
sedikit apalagi jika dikaitkan dengan upaya pembinaan mental remaja. Usia remaja
ditandai dengan gejolak kejiwaan yang berimbas pada perkembangan mental dan
pemikiran, emosi, kesadaran sosial, pertumbuhan moral, sikap dan kecenderungan
serta pada akhirnya turut mewarnai sikap keberagamaan yang dianut (pola
ibadah).
Pada usia
remaja, ditinjau dari aspek ideas and mental growth, kekritisan dalam
merangkum pemikiran-pemikiran keagamaan mulai muncul, kekritisan yang dimaksud
bisa berupa kejenuhan atau kebosanan dalam mengikuti uraian-uraian yang
disampaikan guru Agama di sekolah apalagi jika metodologi pengajaran yang
disampaikan cenderung monoton dan berbau indoktrinasi. Jadi mereka telah mulai
menampilkan respon ketidak sukaan terhadap materi keagamaan yang dipaketkan di
sekolah.
Sebenarnya akar permasalahan yang timbul dari
kekurang senangan remaja terhadap paket materi pelajaran keagamaan di sekolah
terletak pada minimnya motivasi untuk mendalami agama secara lebih intens, yang
lebih sederhana lagi ialah pelajaran agama yang mereka dapat di sekolah kurang
memberikan aplikasi dan solusi praktis dalam keseharian mereka.
Apalagi waktu
mereka lebih banyak dihabiskan dengan nonton teve, jalan-jalan ke mall,
ngeceng, pacaran dan hal-hal lain meski banyak juga remaja kita yang melakukan
aktifitas positif seperti remaja mesjid, berwiraswasta atau ikut organisasi
eskul sekolah serta mengikuti kursus-kursus keterampilan.
Jawaban dari
permasalahan diatas adalah kembali pada sosok guru agama sebagai tauladan dan
sumber konsentrasi remaja yang menjadi peserta didiknya. Mampukah ia menjadikan
dirinya termasuk masalah materi serta metodologi yang dipergunakan sebagai
referensi utama bagi peserta didiknya yang seluruhnya remaja itu dalam
mengembangkan sikap keberagamaan yang tidak sekedar merasa memiliki agama (having
religion) melainkan sampai kepada pemahaman agama sebagai comprehensive
commitment dan driving integrating motive, yang mengatur seluruh
kehidupan seseorang dan merupakan kebutuhan primer yang tidak bisa
ditawar-tawar lagi. Sehingga nantinya remaja-remaja tersebut merasakan ibadah
sebagai perwujudan sikap keberagamaan intrinsik tersebut sama pentingnya atau
malah lebih penting dibanding nonton teve, jalan-jalan, hura-hura dan lain
sebagainya.
Satu hal
penting lainnya yang tidak boleh diabaikan oleh para guru Agama di sekolah
ialah materi pelajaran agama yang disampaikan di sekolah hendaknya selalu
diorientasikan pada kepentingan remaja, seorang guru Agama harus bisa
menanamkan keyakinan bahwa apa-apa yang ia sampaikan bukan demi kepentingan
sekolah (kurikulum) atau kepentingan guru Agama melainkan demi kepentingan
remaja itu sendiri.
Karenanya
pemahaman akan kondisi objektif kejiwaan remaja mutlak diperlukan oleh para
guru Agama di sekolah. Seorang guru Agama harus senantiasa dekat dan akrab
dengan permasalahan remaja yang menjadi peserta didiknya agar mampu menyelami
sisi kejiwaan mereka. Dan materi pelajaran agamapun harus terkesan akrab dan
kemunikatif, sehingga otomatis sistem pengajaran yang cenderung monolog (satu
arah), indoktriner, terkesan sangar (karena hanya membicarakan halal haram)
harus dihindari, untuk kemudian diganti dengan sistem pengajaran yang lebih
menitik beratkan pada penghayatan dan kesadaran dari dalam diri.
Hal ini mungkin
saja dilakukan baik dengan mengajak peserta didik bersama-sama mengadakan
ritual peribadatan (dalam rangka penghayatan makna ibadah) atau mengajak
peserta didik terjun langsung ke dalam kehidupan masyarakat kecil sehingga
mereka bisa mengamati langsung dan turut merasakan penderitaan yang dialami
masyarakat marginal tersebut (sebagai upaya menanamkan rasa solidaritas
sosial). Jadi intinya mereka tidak hanya mendengar atau mengetahui saja
melainkan turut dilibatkan dalam permasalahan yang terdapat dalam materi
pengajaran agama di sekolah.
Namun diatas
semua itu yang paling penting adalah keterpaduan unsur keluarga, lingkungan
masyarakat, kebijakan pemerintah disamping sekolah dalam rangka turut
menanamkan semangat beragama yang ideal (intrinsik) di kalangan para remaja.
Karena tanpa kerjasama terkait antar usur-unsur tersebut mustahil akan tercipta
generasi muda (remaja) yang berkualitas.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1.
Keluarga
adalah wadah yang pertama dan utama dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam.
2.
Sekolah
adalah lanjutan dari pendidikan keluarga yang mendidik lebih folus,teratur dan
terarah.
3.
Pendidikan masyarakat merupakan
pendidikan anak yang ketiga setelah sekolah. Peran yang dapat dilakukan oleh
masyarakat adalah bagaimana masyarakat bisa memberikan dan menciptakan
suasana yang kondusif bagi anak, remaja dan pemuda untuk tumbuh secara baik.
B. SARAN
Saya
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Darajat, Zakiyah. 1983. Peranan Agama dalam Kesehatan Mental. Jakarta: Penerbit Gunung Agung.
Aziz
Ahyadi, Abdul. 1991. Psikologi Agama: Kepribadian Muslim Pancasila. Bandung: Penerbit Sinar Baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar